Jumat, 10 Mei 2013

Sedimen non klastik


BATUAN SEDIMEN NONKLASTIK

Batuan sedimen nonklastik adalah batuan sedimen yang pembentukannya berbeda dengan batuan sedimen pada umumnya. Pada batuan sedimen non klastik ini, pengendapannya melalui proses kimia-biologi-biokimia. Pada batuan ini juga tidak memerlukan adanya batuan sumber dan proses fisik yang bekerja pada batuan sumber tersebut.

1.      Rijang
Rijang atau batu api adalah batuan endapan silikat kriptokristalin dengan permukaan licin (glassy). Disebut "batu api" karena jika diadu dengan baja atau batu lain akan memercikkan bunga api yang dapat membakar bahan kering.
Batu rijang mempunyai bentuk bedded dan nodular. Chert dengan bentuk bedded biasanya ditemukan pada daerah laut dalam dan berasosiasi dengan radiolaria dan lava bantal. Sedangkan chert dengan bentuk nodular biasa ditemukan pada batugamping yang terbentuk oleh proses diagenesa berupa penggantian (replacement). Rijang biasanya berwarna kelabu tua, biru, hitam, atau coklat tua. Rijang (Chert), adalah batuan sedimen silikaan berbutir halus yang keras dan kompak.
Kebanyakan perlapisan rijang tersusun oleh sisa organisme penghasil silika seperti diatom dan radiolaria. Batuan Rijang terbentuk oleh kristal kuarsa berukuran lanau (mikrokuarsa) dan kalsedon, sebuah bentuk silika yang terbuat dari serat memancar dengan panjang beberapa puluh hingga ratusan mikrometer. Lapisan rijang terbentuk sebagai sedimen primer atau oleh proses diagenesis.
Secara umum dianggap bahwa batuan ini terbentuk sebagai hasil perubahan kimiawi pada pembentukan batuan endapan terkompresi, pada proses diagenesis. Ada teori yang menyebutkan bahwa bahan serupa gelatin yang mengisi rongga pada sedimen, misalnya lubang yang digali oleh mollusca, yang kemudian akan berubah menjadi silikat. Teori ini dapat menjelaskan bentuk kompleks yang ditemukan pada rijang.

2.      Batubara
Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik, terdiri dari kandungan bermacam-macam pseudomineral. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara.
Batubara mempunyai warna hitam, struktur brittle, dengan tekstur bioklastik, ukuran butir pasir ( 1/16 – 2 mm ), bentuk butir angular, sortasi baik, kemas tertutup. Batuan tersusun oleh material-material organik, Berwarna hitam, ukuran butir pasir ( 1/16 – 2 mm )
Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, protein, Resin, Tanin, Alkaloida, Porphirin dan Hidrokarbon. Namun komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan penyusunnya.
                        Pembentukan batubara pada umumnya dijelaskan dengan asumsi bahwa material tanaman terkumpul dalam suatu periode waktu yang lama, mengalami peluruhan sebagian kemudian hasilnya teralterasi oleh berbagai macam proses kimia dan fisika. Selain itu juga, dinyatakan bahwa proses pembentukan batubara harus ditandai dengan terbentuknya peat.

3.      Ironstone
Ironestone atau logam besi adalah unsur umum dalam sedimen, meskipun keterdapatannya sedikit pada  hampir semua endapan. Batuan sedimen yang mengandung sedikitnya 15 % logam disebut sebagai ironstone, dan ini menarik perhatian karena kepentingan nilai ekonominya. Besi mungkin dalam bentuk oksida, hidroksida, karbonat, sulfida atau silikat (Berner 1971).      
Bijih biasanya amat kaya dengan besi oksida dan pelbagai warna dari kelabu gelap, kuning menyala, ungu gelap, sehingga merah karat. Besi itu sendiri biasanya terdapat dalam bentuk magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3), goetit (FeO(OH)), limonit (FeO(OH).n(H2O)) atau siderit (FeCO3).
Mineral-mineral yang umum pada sedimen ironstone.


Silicates
Glauconite

Chamosite
KMg(FeAl)(SiO3)6.3H2O

(Fe5Al)(Si3Al)O10(OH)8

Oxides
Haematite

Magnetite
Fe2O3

Fe3O4

Hydroxides
Goethite

Limonite
FeO.OH

FeO.OH.H2O
Carbonate
Siderite
FeCO3
Sulphide
Pyrite
FeS2

Silicates
Glauconite

Chamosite
KMg(FeAl)(SiO3)6.3H2O

(Fe5Al)(Si3Al)O10(OH)8

Proses terbentuknya bijih sangatlah kompleks. Sering lebih dari satu proses bekerja bersama-sama. Meskipun dari satu jenis bijih, apabila terbentuk oleh proses yang berbeda-beda, maka akan menghasilkan tipe endapan yang berbeda-beda pula.

4.      Gipsum
Gipsum adalah salah satu contoh mineral dengan kadar kalsium yang mendominasi pada mineralnya. Gipsum yang paling umum ditemukan adalah jenis hidrat kalsium sulfat dengan rumus kimia CaSO4.2H2O. Gipsum adalah salah satu dari beberapa mineral yang teruapkan. Contoh lain dari mineral-mineral tersebut adalah karbonat, borat, nitrat, dan sulfat.
Gipsum termasuk mineral dengan sistem kristal monoklin 2/m, namun kristal gipsnya masuk ke dalam sistem kristal orthorombik. Gipsum umumnya berwarna putih, kelabu, cokelat, kuning, dan transparan. Hal ini tergantung mineral pengotor yang berasosiasi dengan gipsum. Gipsum umumnya memiliki sifat lunak dan pejal dengan skala Mohs 1,5 – 2. Berat jenis gipsum antara 2,31 – 2,35, kelarutan dalam air 1,8 gr/liter pada 0 °C yang meningkat menjadi 2,1 gr/liter pada 40 °C, tapi menurun lagi ketika suhu semakin tinggi. Gipsum memiliki pecahan yang baik, antara 66º sampai dengan 114º dan belahannya adalah jenis choncoidal. Gipsum memiliki kilap sutra hingga kilap lilin, tergantung dari jenisnya.
Gipsum terbentuk dalam kondisi berbagai kemurnian dan ketebalan yang bervariasi. Gipsum merupakan garam yang pertama kali mengendap akibat proses evaporasi air laut diikuti oleh anhidrit dan halit, ketika salinitas makin bertambah. Sebagai mineral evaporit, endapan gipsum berbentuk lapisan di antara batuan-batuan sedimen batu gamping, serpih merah, batu pasir, lempung, dan garam batu, serta sering pula berbentuk endapan lensa-lensa dalam satuan-satuan batuan sedimen. Menurut para ahli, endapan gipsum terjadi pada zaman Permian. Endapan gipsum biasanya terdapat di danau, laut, mata air panas, dan jalur endapan belerang yang berasal dari gunung api.

Lingkungan juga butuh perhatian lebih


KEBAKARAN HUTAN SALAH SATU PENYEBAB KERUSAKAN LINGKUNGAN TERBESAR

Hutan Indonesia adalah hutan tropis yang terluas di dunia dan merupakan paru-paru dunia yang bisa memberikan iklim dan cuaca yang baik bagi negara kita maupun negara-negara lain.
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang paling besar dan bersifat dan bersifat sangat merugikan. Kebakaran hutan di Indonesia seperti penyakit menahun yang tidak pernah sembuh-sembuh, penyebabnyapun itu-itu juga. Tidak ada satupun yang mengaku bertanggungjawab atas peristiwa kebakaran hutan. Pihak perusahaan, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya selain saling lempaR tanggungjawab sehingga akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban dari dampak kebakaran hutan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan kebakaran huta seperti berikut ini.
  1. Memperhatikan wilayah hutan dengan titik api (hot spot) cukup tinggi terutama lahan gambut di musim panas dan kemarau yang berkepanjangan.
  2. Dilarang membuka ladang atau lahan pertanian dengan cara membakar hutan.
  3. Dilarang meninggalkan bekas api unggun yang membara di hutan.
  4. Tidak membuat arang di hutan.

Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan
Dampak negatif yang terjadi akibat kebakaran hutan dilihat dari segi ekologis dan kerusakan lingkungan sebagai berikut :
1.      Hilangnya sejumlah spesies
Kebakaran bukan hanya memusnahkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru.
2.      Ancaman erosi
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah -akibat terbakar- sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.
3.      Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan
Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut.
4.      Penurunan kualitas air
Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi keruh. Hal ini akan berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana.
5.      Terganggunya ekosistem terumbu karang
Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.

6.      Menurunnya devisa negara
Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.
7.      Sedimentasi di aliran sungai
Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus.

Solusi dalam Mengatasi Kebakaran Hutan
Satu hal yang menjadi pertanyaan, apakah yang mesti dilakukan supaya kebakaran hutan tidak terulang setiap tahunnya. Kita mengetahui bahwa dampak dari kebakaran hutan sangatlah besar dan juga kita tentu tidak ingin mewariskan hutan yang gundul dan tandus kepada generasi penerus.
Untuk mengatasi ini semua perlu mengembangkan manajemen pengendalian kebakaran hutan.
untuk mengatasi kebakaran hutan tersebut perlu dilakukan ialah :
Perencanaan (Planning). Menentukan sasaran yang ingin dicapai dengan jelas dan strategis yang diperlukan dalam upaya mengatasi kebakaran hutan. Dalam upaya ini harus ada perencanaan strategik yang bersifat jangka panjang, bukan bersifat reaktif di mana ketika kebakaran hutan terjadi baru ada upaya pemanadaman. Harus ada peta atau base wilayah yang menjadi rawan kebakaran hutan. Sehingga dengan mudah melakukan pendeteksian dini terhadap kebakran hutan yang akan terjadi.
Pengeorganisasian (Organizing). Keseluruhan proses pengelompokan instansi-instansi, tugas dan tanggungjawab sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan dalam upaya pencagahan kebakaran hutan. Posisi masyarakat, LSM, perusahaan, pemerintah dan instansi lainnya harus perlu adanya koordinasi sehingga masing-masing dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab dengan baik tanpa adanya saling lempar tanggungjawab.
Penggerakan pengarahan (Actuating). Tindakan untuk menggerakkan semua komponen yang ada yang telah ditentukan fungsinya masing-masing untuk bekerja secara makasimal mencagah atau memadamkan kebakaran hutan sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan. Merupakan penyatuan dari semua usaha dan penciptaan kerjasama dari pemerintah, LSM, perusahaan perkebunan, HTI, HPH dan instansi terkait, sehingga tujuan dapat dicapai dengan efesien dan efektif.
Pengawasan (Controlling). Dilakukan untuk mengukur hasil kegiatan yang telah dilaksanakan dan menghindari tindakan di luar prosedur yang telah ditentukan. Jika ada kekuarangan atau kesalahan di dalam upaya penanggunlanan kebakaran hutan maka dapat dilakukan perbaikan untuk mencapai hasil yang maksimal. Pengawasan yang ketat disemua tingkatan dan penerapan sanksi hukum yang tegas kepada semua komponen yang terbukti tidak mampu menjalankan tugas atau tanggungjawab dalam upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan. 

Gunung Dieng



GUNUNG DIENG

Secara geografis Gunung Dieng terletak pada 7ֺº 12’ LS dan 109º 54’ BT. Dieng adalah kawasan peugunungn di Jawa Tengah, yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Pegunungan dieng berada sekitar 26 kilometer ke arah utara dari Kota Wonosobo, Jawa Tengah. Luasnya kurang lebih 619,846 hektar. Wilayahnya dikelilingi oleh beberapa gunung, seperti Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Gunung Dieng merupakan gunung api raksasa dengan beberapa kepundan kawah. Dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) merupakan sebuah komplek gunung berapi, berbentuk dataran luas dengan panjang kurang lebih 14 km, lebar 6 km dan memanjang dari arah barat daya ke tenggara. Ketinggian Gunung Dieng sekitar 2.500m di atas permukaan laut.
Dieng Plateau berasal dari gunungapi tua yang mengalami penurunan drastic (dislokasi) oleh patahan arah barat laut dan tenggara. Pada bagian yang amblas muncul gunung-gunung kecil yaitu, Gunung Alang, Gunung Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajahmungkur dan Gunung Pakuwaja.
Kegiatan Gunungapi Dieng dari yang tia hingga yang termuda dapat dibagi menjadi tiga episode.
1.      Episode pertama
Produk piroklastika Rogojembangan (Djimat) menutupi daerah utara dan selatan komplek, kemungkinan terbentuk pada Kuarter bawah (Gunawan, 1968).Kawah Tlerep yang terdapat pada batas timur memperlihat terbuka kearah selatan membentuk struktur dome berkomposisi hornblende andesit.Krater vulkanik Prau terletak kearah utara dari Tlerep.Setengah dari kawah bagian barat membentuk struktur kaldera. Prau vulkanik menghasilkan endapan piroklastik dan lava andesit basaltis. 
2.      EpisodeKedua
Beberapa aktivitas vulkanik berkembang didalam kaldera, diantaranya membentuk Gunung Bisma, Gunung Seroja, Gunung Nagasari, Gunung Palangonan dan Mardada G. Pager Kandang (Sipandu), Gunung Sileri, Gunung Igir Binem.
3.      Episode ketiga
Aktivitas gunungapi pada episoda ini, menghasilkan lava andesit biotit, jatuhan piroklastik dan aktivitas hydrothermal.
Tipe vulkanisme Gunung Dieng adalah vulkanisme lelehan, dikontrol oleh magma yang bersifat basa, sedikit mengandung gas, magma encer dan ledakan lemah. Vulkanisme ini biasanya menghasilkan gunungapi yang rendah dan berbentuk perisai.Tipe letusan Gunung Dieng termasuk kedalam Tipe Hawaii. Tipe gunung api ini dicirikan dengan lavanya yang cair dan tipis, dan dalam perkembangannya akan membentuk tipe gunung api perisai. Sifat magmanya yang sangat cair memungkinkan terjadinya lava mancur, yang disebabkan oleh arus konveksi pada danau lava. Dimana lava yang banyak mengandung banyak gas, sehingga bersifat ringan, akan terlempar ke atas, sedang yang berat (setelah gas hilang) akan tenggelam lagi. Sifat magmanya basa dengan kekentalan rendah dan kurang mengandung gas. Karena itulah erupsinya lemah, keluarnya ke permukaan bumi secara effusif/meleleh. Akibatnya lerengnya landai (2º – 10º) tingginya tidak seberapa dibanding diameternya, dan permukaan lereng yang halus.